Kisah si Pembela Keadilan
HEADLINE NEWS!! Dr.Coleus Denta Swingle diduga melakukan malpraktek, kepala Rumah Sakit Swingle Medical Center bungkam.
Satria melipat koran hariannya dan kembali menikmati segelas kopi panas dihadapannya. Namun, pikirannya melayang. Headline news di koran tadi merasuki batinnya, malpraktek? Ceroboh juga beliau. Tak sempat ia menghabiskan kopinya, tiba-tiba terdengar pintu ruang kerjanya diketuk.
“Permisi, Pak” terlihat sekertaris cantik menyembul dari balik pintu.
“Ya? Silakan masuk” jawab Satria sopan.
“Ada yang ingin bertemu dengan Bapak. Namanya Ibu Rossa Villosa nampaknya ia ingin sekali bertemu dengan Bapak” ucap sekertaris menyampaikan maksudnya. Satria bergeming, pasti ada hubungannya dengan headline news hari ini.
“Ya, persilakan masuk saja” ucap Satria sambil memperbaiki posisi duduknya. Sekertaris tersebut segera mengindahkan mandat dari atasnya. Tak beberapa lama kemudian, seorang wanita paruh baya beumur sekitar 50-an memasukin ruangan kerja Satria. Dr.Rossa Villosa Swingle, begitulah nama lengkap wanita tersebut. Beliau masih seperti wanita yang Satria kenal dahulu, lembut, ramah, dan hangat. Namun, terlihat dari matanya tampak semalam suntuk beliau menguras habis air matanya, sembab.
“Saya tau maksud Ibu datang ke sini” ucap Satria offensive.
“Alhamdulillah, kalau kau sudah mengetahuinya. Ibu harap kamu bisa melunakkan hatimu, Nak”
“Bu, ini masalah hukum bukan masalah anak dan ayahnya. Sekalipun dia bukan ayah saya, saya juga tidak mau menerima kasus ini”
“Satria, Ibu tau sakit hati yang kamu rasakan akibat sikap keras ayahmu. Tapi Ibu mohon, Nak. Bagaimana pun dia ayahmu”
“Ahahaha..Coleus Denta Swingle ternyata bisa bersikap ceroboh juga ya. Saya kira beliau manusia sempurna yang selalu benar. Sampai-sampai mengusir anaknya karena tidak mau menjadi dokter juga”
“Satria! Siapa yang mengajarkan kamu menjadi anak yang seperti ini? Nak! Ayahmu sayang sama kamu. Jangan pernah berpikiran seperti itu. Nak, Ibu mohon nak. Demi keluarga kita, demi ka cassia dan Ibu, Nak”
“Sudahlah, Bu. Saya tidak mau menerima kasus ini bukan karena sakit hati di masa lalu. Namun, kasus ini terlalu berat untuk dimenangkan. Lebih baik Ibu mencari pengacara lain”
“Baiklah, Nak. Ibu harap anak Ibu kembali ke pangkuan Ibu dan ayah. Kembali menjadi anak yang manis dan penuh rasa menghormati. Selamat siang” ucap dr.Rossa meninggalkan ruang kerja Satria sambil menunduk menahan tangis. Beliau rindu anaknya yang dulu, si bungsu kebanggaannya yang teramat ia cintai. Satria bungkam.
***
Satria Oxalis Swingle, pengacara muda yang satu ini merupakan anak laki-laki satu-satunya dari Dokter senior spesialis jantung Coleus Denta Swingle. Satria yang berkepribadian keras dan juga idealis menolak mentah-mentah permintaan ayahnya untuk menjadi seorang dokter. Penolakan kerasnya membuat ayah Satria geram.
Saat itu hari kelulusan SMA, Satria yang notabenenya merupakan anak IPA bermaksud untuk mengikuti ujian SNMPTN tertulis di jurusan Hukum, Universitas Indonesia. Dr.Coleus sangat menentang tindakan anaknya ini ia berharap Satria mengambil jurusan kedokteran. Namun, Satria tetap pada pendiriannya. Dengan sungguh-sungguh ia berusaha meraih mimpinya menjadi seorang pengacara. Berkat usahanya akhirnya ia pun lolos ujian SNMPTN tertulis dan diterima di Fakultas hukum Universitas Indonesia. Mengetahui kabar tersebut, dr.Coleus menjadi sangat marah kepada Satria.
“Satria! Kamu mau bikin ayah malu atau apa?” bentak dr.Coleus kepada Satria. Satria hanya diam tak bisa berkata apapun. Takut, hanya itu yang Satria rasakan melihat perubahan emosi ayahnya.
“Ayah kecewa sama kamu! Kamu anak laki-laki satu-satunya Ayah, tapi apa? Kamu kecewakan Ayah! Untuk apa Ayah sekolahkan kamu di sekolah favorit jika nantinya kamu hanya menjadi pengacara? Ayah ingin kamu menjadi dokter! Ayah tau yang terbaik untuk kamu! Dan yang terbaik untuk kamu itu, kamu menjadi dokter, Satria! Lihat Kakamu, Cassia! Sebentar lagi dia akan menjadi dokter! Kamu mau jadi apa? KORUPTOR?! JAWAB!” dr. Coleus terus membentak Satria tanpa ampun seperti tidak ada celah baginya untuk membela diri.
“Yah, aku nggak mau jadi dokter. Aku nggak mau menjadi seperti Ayah ataupun seperti Ibu bahkan ka Cassia atau keluarga Ayah yang lainnya! Aku ingin menjadi pengacara. Aku ingin membela keadilan di Indonesia dengan benar. Maaf Yah aku mungkin anak tak tahu diri tapi aku tetap pada pendirianku,” bela Satria kepada ayahnya
“Ok! Kalau memang itu mau kamu. Mulai sekarang silahkan keluar dari rumah saya dan jangan pernah kembali lagi. Kamu bukan anak saya!”
Kejadian itu merupakan sebuah titik balik kehidupan Satria. Ia mulai hidupnya secara mandiri. Ibu dan kakaknya, Cassia, selalu memberikan dukungan kepada Satria. Untuk masalah dana pendidikan Ibu dan ka Cassia dengan senang hati membiayai uang kuliah Satria. Sampai pada akhirnya Satria bisa menjadi pengacara muda seperti sekarang. Satria sudah banyak menangani kasus hukum di Indonesia dan ia bisa dengan mudah memenangkan kasus yang ditanganinya. Sekarang ia sudah bisa membeli rumah dan mobil pribadi. Segala jerih payah dan pengorbanan Satria bebuah sangat manis dan membanggakan.
***
Satria duduk terdiam menanti seseorang yang ia tunggu-tunggu sedari tadi. Beberapa menit kemudian, seorang wanita cantik berbadan proposional menghampiri Satria. AuAuranti Sylavina, begitulah nama wanita cantik itu yang merupakan kekasih Satria.
“Udah lama nunggu yah? Maaf telat tadi aku ada kerjaan yang harus diselesain” ucap AuAuranti kepada Satria sambil duduk di samping Satria.
“Iya, nggak apa-apa ko, Ran. Kamu sibuk yah akhir-akhir ini?”
“Lumayan lah, Sat. Penyakit ayah makin parah jadi aku harus bolak-balik rumah sakit dan kerjaanku jadi sedikit ketumpuk. Pusing deh kalau dipikirin rasanya kepalaku mau pecah” ucap Auranti sambil memegang kepalanya. Ia tampaknya sangat lelah dengan segala permasalahan dalam hidupnya. Satria memandangi gadis cantik itu dengan penuh kasih sayang ia membelai rambut Auranti, “Kamu harus kuat yah, sayang. Ayah kamu pasti sembuh ko.”
“Amin! Aku udah ga kuat liat ayah harus dikemo terapi setiap hari. Kasihan ayah, semua rambutnya sekarang sudah rontok. Aku harap ayah cepet sembuh yah, Sat. Biar bisa main catur lagi sama kamu hehehe..Oyah! tadi pagi aku baca Koran. Aku turut berduka cita yah atas kasus ayah kamu. Kamu pasti ngambil kasus ini kan, Sat? Ini satu langkah baik loh buat memperbaiki hubungan kamu sama ayahmu” ucap Auranti mengalihkan pembicaraan. Ia tidak mau berlarut-larut dengan kesedihan yang menimpa dirinya dan juga ia ingin mengetahui keadaan Satria. Satria yang mendengar ucapan Auranti terdiam sejenak, hatinya berkecamuk, ayah? Kasus ayah? Betul juga kata Auranti, tapi….”Hey, Sat! Ko diem? Kamu kenapa? Aku salah ngomong yah?” tegur Auranti membuyarkan lamunan Satria. Satria ingin membagi masalahnya ini dengan kekasihnya namun nampaknya waktunya sedang tidak tepat.
“Ah? Ngga apa-apa ko, Ran. Heeeem, untuk masalah itu ga usah dibahas dulu yah. Hari ini boleh aku ngejenguk ayah kamu?” Tanya Satria kepada Auranti. Masalah Auranti jauh lebih sulit dibanding masa lahnya, pikir Satria.
“Wah! dengan senang hati, Sat. Makasih banyak yah” ucap Auranti senang.
***
Swingle Medical Center. Kenapa harus di sini sih? Pertanyaan itu mengawali langkah Satria di rumah sakit tersebut. Hampir bertahun-tahun Satria tidak pernah menginjakan kakinya lagi di rumah sakit tersebut. Ya! Alasannya hanya satu, rumah sakit ini merupakan rumah sakit milik keluarga Satria dan ayahnya merupakan pendiri dari rumah sakit ini. Yang membuatnya lebih enggan ke sini adalah hampir setangah dari dokter yang bekerja di rumah sakit ini kenal dengan Satria. Bener saja, baru ia melangkahan kakinya di lobby rumah sakit, seorang dokter senior sudah menyapanya. Dengan sopan Satria membalas sapaan tersebut. Melihat situasi seperti itu, Auranti hanya cekikikan di belakang punggung Satria. Bagaimana tidak? Satria sudah bagaikan artis saja saat itu. Setelah melewati berpuluh-puluh “fans” Satria, akhirnya mereka sampai di ruangan ICU.
Di dalam ruang ICU, ayah Auranti terbaring lemah dengan berbagai macam alat yang menempel di sekujur tubuhnya. Mungkin tanpa alat-alat tersebut ayah Auranti sudah tidak bernyawa lagi. Satria menatap nanar ke arah ayah Auranti. Pedih, hanya itu yang ia rasakan. Ayah Auranti sudah seperti ayahnya sendiri bahkan “lebih”. Banyak pelajaran yang ia dapatkan dari seorang hakim yang kini tergeletak lemah akibat penyakit kanker yang terus menggrogoti tubuhnya. Pikiran Satria jauh melayang. Ia membayangkan yang tergeletak tak berdaya kini adalah ayahnya. Satria teringat percakapannya dengan Ayah Auranti sewaktu masih sehat. Ketika itu mereka sedang bermain catur di teras rumah Auranti,
“Satria, kamu jangan lama-lama yah berantem sama ayah kamu! Bapak kan pengen kenalan sama bapaknya calon menantu Bapak. Kamu nih marahan ko lama bener sih, Sat”
“Hehe, iya Pak! Secepatnya saya akan kenalkan Bapak sama ayah saya. Saya juga mau membahagiakan Bapak juga Auranti”
“Nah, gitu dong! Tapi, kamu harus baikan sama ayah kamu. Bapak ngga mau nanti harus jadi hakim pertengkaran kamu sama ayah kamu. Dengar yah Satria, semua yang diucapkan ayah kamu itu pasti ada baiknya. Janganlah kamu berpikiran ayahmu jahat sama kamu. Buktiknya kamu sekarang jadi sukses kan? Pasti itu doa dari ayah kamu juga. Ayahmu pasti rindu akan kehadiran kamu. Ingat, Sat! umur Bapak dan umur ayahmu mungkin sudah ga lama lagi di dunia ini. Kapan lagi kamu membahagiakan ayahmu dan Bapak? Buanglah rasa egoismu itu. Kalau pengcara egois. Apa kata dunia? Hahahaha…”
Percakapan itu amat jelas teringat di pikiran Satria, sangat berkesan baginya. Tiba-tiba buliran air bening menyeruak dari pelupuk matanya. Rindu, Satria rindu ayahnya. Rindu akan nasihat, tawa, kasih sayang, bahkan bentakan ayahnya.
“Kamu kenapa Sat?” tanya Auranti heran meilhat si ksatria hatinya menangis.
“Ha? I’m fine. Aku cuman terbawa suasana aja. Aku mau ke cafeteria di bawah. Kamu mau ikut atau mau aku bawain apa gitu?”
“Aku mau di sini dulu aja. Ngga usah deh. Aku lagi ngga mau apa-apa”
“Ok! Aku pamit sebentar yah, Ran” ucap Satria seraya meninggalakan ruang ICU tersebut.
Sesampainya di cafeteria, Satria memesan secangkir kopi panas. Ia duduk termenung menatapi taman rumah sakit yang tampak asri. Sewaktu kecil ia sering bermain di sana. Berlarian kesana kemari, bermain dokter-dokteran bersama kakaknya, Cassia. Senyum tipis menyungging di wajahnya, mengingat masa kecil. Lagi asik-asiknya ia bernostalgia dengan masa kecilnya seorang dokter muda cantik menghampirinya. Dr.Cassia Swingle, tiba-tiba menepuk punggung Satria, “Satria?”
“Heh! Ka Cassia!” ucap Satria sambil membalikan badannya
“Lagi jenguk ayahnya Auranti yah?”
“Iya Ka, kasihan yah dia. Padahal dia hakim yang menginspirasi aku. Kakak apa kabar? Udah lama aku ga ketemu Kakak”
“Heeem, aku baik ko Dek. Ibu kemarin sudah ke kantor kamu?”
“Sudah, ka. Tapi maaf aku ga bisa ngambil kasus itu. Kasus ayah terlalu sulit untuk dimenangkan. Aku heran kok beliau bisa betindak seperti itu?”
“Aku pun ngga begitu mengerti soal kasus ini yang aku tau pasien itu ngotot untuk dioperasi walau dari pihak rumah sakit udah menolak. Kalau udah gini ya, kita yang jadi sasaran untuk disalahkan. Kasihan ayah dan ibu, dek. Kayanya mereka agak deperesi. Aku bingung harus berbuat apa. Dari tadi pagi rumah sakit ini udah di serbu sama media massa. Aku sampai pusing sendiri” jelas dr.Cassia kepada Satria. Satria mencoba memahami kasus ini tapi keegoisan hatinya masih menutup akal sehatnya.
“Ya, mungkin ini saatnya ayah menerima balasan dari Tuhan Ka”
“Maksudmu? Benar yah kata Ibu kamu udah berubah. Mungkin aku ga pernah ngerasain jadi kamu tapi dia ayah kamu! Ayah aku juga. Dia sayang sama kamu, Dek!”
“Aku juga sayang ka sama ayah tapi maaf sekali lagi aku ga bisa nerima kasus ini. Permisi ka, aku harus pergi” ucap satria meninggalkan dr.Cassia sendirian. Lagi-lagi pikiran dan hatinya berkecamuk. Antar perasaan dan akal sehat rasanya tidak pernah singkron bagi Satria.
***
Beberapa minggu kemudian..
HEADLINE NEWS !! Dr.Coleus Denta Swingle resmi menjadi terdakwa kasus malpraktek pasien malang! Vonis 10 tahun kurungan penjara menjerat dokter senior satu ini.
Satria yang masih lengkap dengan pakaian tidurnya melihat sekilas Koran pagi ini yang diantarkan ke rumahnya. 10 tahun? Lama juga yah. Siapa sih pengacaranya. Bodoh banget!, gumamnya pelan. Hari minggu ini seperti biasanya, Satria akan menghabiskan weekendnya bersama Auranti. Ia segera bersiap-siap membersihkan tubuhnya dan berpakaian santai namun rapi. Diambilnya smart phone dari kantongnya, belum sempat ia men-dial nomer telepon Auranti, Auranti sudah meneleponnya, kebetulan.
“Halo….” Satria tidak melanjutkan ucpannya. Di ujung telepon sana Auranti membom bardir Satria dengan sebuah berita yang amat memilukan hati. Ayah Auranti meninggal dunia tadi subuh. Satria terdiam, kaget, sedih dan kacau. Ia kehilangan sosok ayah yang menggantikan ayahnya untuk selama-lamanya. Setelah menutup telepon dari Auranti ia segera bergegas pergi ke rumah duka.
Di rumah duka, Satria langsung menemui Auranti. Auranti tampak sangat kacau, matanya sembab. Melihat kedatangan Satria, Auranti langsung menyeruak ke dalam pelukan Satria. Dengan air mata bercucuran Satria membelai rambut Auranti lembut. Tiba-tiba, Satria teringat akan janjinya kepada ayah Auranti.
“Ran, maafin aku yah. Aku belum bisa ngebahagiain kamu. Aku juga belum bisa nepatin janji aku sama ayah aku. Aku belum bisa ngenalin ayahku ke ayah kamu. Aku nyesel, Ran”
“Iya, Sat. Aku harap kamu bisa nepatin janji ayahku yah. Walau, dia ga bisa lihat dari sini tapi semoga saja di akhirat sana ia melihat usaha kamu. Jangan sampai kamu nyesel untuk yang kedua kali yah, Sat. Seengganya nanti kalau kita jadi menikah aku masih punya ayahmu”
Satria memeluk Auranti erat. Ia menyesal telah terlambat mengenalkan ayahnya ke ayah Auranti. Kini Satria sadar, selama ini ia telah egois pada ayahnya sendiri. Ia tidak memakai akal sehatnya untuk menyelesaikan masalah ini. Ia ingin menebus semua kesalahannya. Ayah, maafkan Satria!
Usai dari pemakaman, Satria menelepon Ibunya, “Halo, Ibu? Bu, aku terima kasus ayah. Semoga belum terlambat. Namun, kemungkinan aku tidak bisa memenangkannya. Aku hanya bisa meringankan hukumannya saja. Aku mau menebus semua kesalahanku selama ini kepada ayah. Semoga ayah mau menerima aku kembali” Ibu Satria, dr.Rossa Villosa, amat girang mendengar kalimat yang dilontarkan anaknya di telepon tadi. Akhirnya, si bungsu yang amat ia cintai kembali.
***
HEADLINE NEWS!! Atas keputusan hakim dan jaksa agung dr.Coleus Denta Swingle mendapat hukuman 1 tahun hukuman penjara. Penanggungan masa tahanan ini tak lain dan tak bukan berkat usaha dari pengacaranya yang merupakan anaknya sendiri, Satria Oxalis Swingle, M. SH.
“Satria, Ayah berhutang budi sama kamu. Maafkan ayah sudah betindak arogan dengan melarang kamu menuntut ilmu di bidang hukum. Ayah sangat bangga kepada kamu, nak!” ucap dr.Coleus kepada Satria. Meski harus bebicara dibalik jeruji besi nampak raut bahagia dari wajah sang ayah.
“Maafin Satria juga ya, yah. Satria selama ini egois ngga mau mendengar nasihat Ayah. Satria merasa beruntung memiliki Ayah” ucap Satria dengan senyum mengembang di wajahnya. Akhirnya, ia bisa bebicara dari hati ke hati bersama ayahnya meskipun harus menunggu satu tahun lagi untuk menikmati kebahagian memiliki keluarga yang utuh.
0 komentar:
Posting Komentar